KONTROVERSI seputar penetapan tanggal kelahiran organisasi Budi Utomo (ejaan aslinya Boedi Oetomo) tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional, memang belum berakhir dan masih menjadi obyek perdebatan yang terus berlanjut. Bagi kebanyakan pengamat sejarah Indonesia modern, Budi Utomo d nilai terbatas perannya sebagai organisasi yang bersifat "kebudayaan," dan bukan bersitat "politik."
DALAM penilaian Van Niel misalnya, Budi Utomo bersifat nasionalistis hanya dalam pengertian yang amat terbatas ia menjelmakan kemajuan suatu kelompok kebudayaan tertentu (Jawa) dan pada tahap awalnya ia tidak berpretensi untuk membangun suatu bangsa. Yang membuat Budi Utomo penting ialah bahwa ia adalah organisasi Indonesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat (Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, 1960).
Demikian pula Pramoedya Ananta Toer yang menilai bahwa Budi Utomo sejak didirikan tahun 1908 hingga melebur dalam Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) tahun 1935 tetap merupakan suatu organisasi kesukuan (Jawa), sehingga kurang tepat bila kelahirannya dianggap sebagai kebangkitan nasional Indonesia. Bagi Pramoedya, kebangkitan nasional Indonesia sudah dimulai dua tahun sebelumnya melalui kelahiran organisasi Sarekat Priyayi dengan tokoh utamanya, RM Tirto Adhi Scerjo (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985).
Sebagian pengamat lagi menilai "kegagalan" Budi Utomo untuk memegang kepemimpinan pergerakan nasional pada awal abad ini disebabkan oleh corak organisasi itu yang "elitis," "aristokratis," dan "moderat." Akan tetapi sebagaimana dikemukakan sejarawan Dr Abdurrachman Surjomihardjo (almarhum), suatu rekonstruksi peristiwa sejarah yang dibatasi oleh pengertian-pengertian itu tidak cukup untuk menilai perkembangan Budi Utomo pada waktu itu.
Barangkali kontroversi seputar penetapan waktu kelahiran Budi Utomo sebagai titik awal kebangkitan nasional Indonesia dapat diakhiri dengan menyadari bahwa penetapan patokan waktu itu lebih merupakan usaha memberi makna simbolis-politis semata, dan bukan terutama sebagai hasil dari rekonstruksi sejarah secara ilmiah.
Sekalipun demikian, penelusuran kembali terhadap pemikiran dan peranan dari sejumlah tokoh yang melatarbelakangi kelahiran Budi Utomo menunjukkan bahwa kelahiran organisasi yang melambangkan "kebangkitan Jawa” itu sesungguhnya merupakan bagian-bahkan salah satu bagian inti-dari proses kelahiran nasionalisme Indonesia dalam pengertian modern pada awal abad 20.
Pemahaman tentang eksistensi Budi Utomo sebagai bagian dari proses kebangkitan nasionalisme Indonesia modern akan lebih lengkap lagi manakala ditelusuri pemikiran serta peran dari dua tokoh utamanya, dokter Wahidin Soedirohoesoedo dan terutama dokter Soetomo.
Bila Wahidin merupakan tokoh Jawa angkatan tua yang bercita-cita dan terus-menerus mempropagandakan gagasan kebangkitan Jawa, maka Soetomo adalah wakil angkatan muda Jawa yang mewujudkan gagasan itu dalam bentuk yang konkret berupa organisasi Budi Utomo. Dalam perkembangan kemudian, Soetomo menjadi salah satu tokoh penting dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia, terutama sejak ia bergabung dengan organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1919-1923, dan ketika ia aktif dalam politik pergerakan sejak tahun 1924 hingga saat wafatnya tahun 1938.
Oleh karena itu penting untuk memahami pemikiran dan peran mereka, juga hubungan antara kedua tokoh tersebut. Hubungan Wahidin dan Soetomo memang memikat mengingat adanya kesamaan, namun juga ada perbedaan pandangan tentang cara-cara mencapai tujuan akhir dan cita-cita tentang kebangkitan Jawa, dan bagaimana pemikiran dan peranan politik Soetomo dalam fase awal kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Wahidin yang dilahirkan tahun 1857 di Mlati, sebuah desa empat kilometer utara Kota Yogyakarta, adalah seorang priyayi desa seperti diperlihatkan gelarnya, Mas Ngabehi. Ia anak bumiputera pertama yang diterima di sekolah dasar untuk anak Eropa (Europesche Lagere School = ELS). Pada tahun 1869 ia meneruskan pelajaran di Sekolah Dokter Bumiputera ("Dokter Jawa"). Karena tergolong pandai, maka begitu lulus tahun 1872, Wahidin diangkat sebagai asisten pengajar di sekolah itu. Beberapa tahun kemudian ia kembali ke Yogyakarta dan menjadi pejabat kesehatan daerah itu sampai tahun 1899.
Didorong oleh keperluannya menyampaikan cita-citanya kepada masyarakat luas, maka pada tahun 1901, ketika berusia 48 tahun, Wahidin menjadi pemimpin redaksi Retnodhoemilah, suatu majalah berbahasa Jawa dan Melayu yang terbit tiga kali seminggu. Sejak itulah ketokohan Wahidin mulai tampak.
Hal lain yang membuat pribadi Wahidin menonjol adalah sifat rendah hati serta kehalusan budi pekertinya. Seperti ditunjukkan Akira Nagazumi, Wahidin mampu memadukan pendidikan Barat yang diterimanya dengan unsur-unsur terbaik dalam kebudayaan Jawa. Selain dikenal luas sebagai dokter Jawa, Wahidin juga dikenal sebagai juru karawitan yang andal, pandai memainkan sangat banyak gending, dengan gameIan apa saja; juga sebagai dalang wayang kulit yang piawai (Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918, Tokyo Institute of Developing Economics, 1972).
Melalui Retnodhoemilah, Wahidin mulai melontarkan cita-cita dan gagasannya tentang kebangkitan Jawa kepada kalangan yang lebih luas. Cita-citanya itu ialah bangkitnya "bangsa Jawa" dalam peradaban yang baru. Cita-cita Wahidin itu sebenarnya juga ikut dipengaruhi oleh beberapa perkembangan di luar negeri, di antaranya munculnya Pan Islamisme menyusul gerakan Turki Muda (1880-1902), reformasi Kwang-zu di Cina menjelang abad 20, dan kemenangan Jepang atas Rusia.
BERBAGAI perkembangan di luar negeri itu langsung atau tidak langsung telah membawa dampak terhadap penduduk pribumi Indonesia. Bagi Wahidin, berbagai perkembangan itu merupakan inspirasi sekaligus motivasi untuk memikirkan nasib rakyat Jawa yang terus "tertidur" dan jauh tertinggal, dan karena itu harus diupayakan untuk "bangkit" menyongsong era baru yang ditandai oleh berbagai peristiwa di atas.
Salah satu pikiran pokok Wahidin adalah kemunduran Jawa sejak abad ke-19, ketika Islam mengakhiri peradaban Hindu-Buddha, sementara masyarakat Cina dan Arab di Hindia Belanda jauh lebih maju. Menurut Wahidin, kemajuan Jawa dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan Barat lewat pendidikan, tetapi tanpa melupakan warisan Jawa.
Wahidin yakin bahwa pendidikan modern bersama dengan pendalaman budaya Jawa akan dapat membantu masyarakatnya mengatasi masalah kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Wahidin selalu setia memberitakan dan mengomentari dengan penuh simpati munculnya upaya masyarakat dalam bentuk organisasi untuk menambah ilmu pengetahuan (pengaruh perkembangan di luar negeri terhadap cita-cita Wahidin, lihat Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, buku ke-1, 1995).
Ketika seruannya dalam berkala itu kurang mendapat sambutan, pada tahun 1906 ia mengundurkan diri dari Retnodhoemilah agar bisa memusatkan waktunya untuk berkeliling dan bertemu para pemuka Jawa seperti para bupati yang kaya dan kaum priyayi kelas atas yang berpengaruh. Kepada mereka, Wahidin mengemukakan cita-citanya, yang menurutnya harus dimulai pembentukan organisasi yang khusus mengurus dana pendidikan.
Usaha Wahidin itu tidak memperoleh hasil, karena sebagian besar bupati dan priyayi tinggi tidak berminat. Seringkali Wahidin juga harus menghadapi tentangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya sebagai hendak mengguncangkan ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku, sebagian lagi meremehkannya karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja, dan golongan lain pun karena memangnya tidak senang terhadap perubahan apa pun (Nagazumi, ibid).
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil bagaikan berseru di padang pasir, barulah pada akhir tahun 1907 Wahidin diundang oleh dua siswa STOVIA Jakarta, Soetomo dan Soeradji, untuk mengemukakan gagasan dan cita-citanya di depan para siswa STOVIA. Mereka ternyata tergugah oleh semangat dokter pensiunan itu. Dalam memoarnya, Soetomo menulis kenangannya ketika pertama kali bertemu Wahidin:
"...Saya berhadapan dengan dokter Wahidin Soedirohoesodo yang berwajah tenang tetapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit. Berbicara dengan dokter Wahidin merupakan pengalaman yang sangat mengharukan, dengan mudah orang akan tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini." (R Soetomo, "Kenang-kenangan 1933", sebagaimana dikutip dalam Nagazumi, ibid).
Gagasan dan cita-cita yang sejak lama diperjuangkan Wahidin, kini menemukan titik perwujudannya ketika para siswa STOVIA sepakat untuk membentuk suatu organisasi sesuai keinginan Wahidin.Para siswa itu menghendaki agar organisasi itu tidak hanya mengurusi soal pendidikan, melainkan juga menyadarkan penduduk Jawa akan keutamaannya. Akhirnya pada hari Minggu pagi tanggal 20 Mei 1908, di aula STOVIA di Jakarta, diumumkan berdirinya organisasi tersebut dengan nama Boedi Oetomo, dan Soetomo terpilih sebagai ketua.
Sekalipun bukan merupakan organisasi pribumi yang pertama, namun kelahiran Budi Utomo cukup menggemparkan. Tokoh pencetus Politik Etis, Mr C Th Van Deventer misalnya, memberikan komentar dalam majalah De Gidds, beberapa saat setelah pengumuman kelahiran Budi Utomo bahwa Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt (Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri cantik yang tidur itu, telah bangkit). Barangkali, bermula dari istilah "ontwaakt" (bangkit) yang disampaikan Van Deventer itulah kelak hari kelahiran Budi Utomo diresmikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sebagaimana berulang kali terjadi dalam sejarah, para pemula atau perintis dari setiap gerakan baru biasanya dengan segera tersingkirkan dari gerakan tersebut. Hal itu berlaku bagi Wahidin maupun Soetomo. Gagasan awal Wahidin tentang dana pendidikan yang telah ditolak para siswa STOVIA yang ingin memperluas tujuan organisasi, telah memberikan peran yang terbatas bagi dokter tua itu dalam kegiatan Budi Utomo selanjutnya.
Keterbatasan kemampuan Soetomo dan rekan-rekan seangkatannya dalam membiayai organisasi, menyebabkan dalam waktu singkat-kepemimpinan Budi Utomo jatuh ke tangan para priyayi tua yang kolot dan antipembaruan. Soetomo, seperti juga bapak rohaninya, Wahidin, semakin terbatas perannya dalam kepengurusan Budi Utomo. Namun, bila bagi Wahidin suatu fase lama telah berakhir, bagi Soetomo suatu fase baru justru sedang dimulai.
KETIKA dalam kongres pertama Budi Utomo tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta kepemimpinan organisasi itu beralih ke tangan kaum tua, Soetomo hanya mendapat peran terbatas dengan mengurus Budi Utomo cabang Jakarta sebagai ketuanya. Peran yang terbatas itu justru membuat Soetomo dapat lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan studinya.
Soetomo yang dilahirkan di Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada tangga130 Juli 1888, adalah keturunan priyayi menengah. Ayahnya, Raden Soewadji, adalah Wedana di Maospati, Madiun. Setelah menamatkan pendidikan dasar, pada usia 15 tahun ia diterima sebagai siswa STOMA di Jakarta pa awal tahun 1903. Ia tamat d; STOVIA tahun 1911.
Selama delapan tahun berikutnya Soetomo nyaris tenggelam dalam kegiatan profesionalnya sebagai dokter. Dia mula-mula ditugaskan di Semarang, kemudian dipindahkan ke Tuban, terus ke Lubuk Pakam dan Baturaja di Sumatera, kemudian ke Malang dan Blora. Di Rumah Sakit Blora, Soetomo menemukan jodohnya, orang perawat Belanda, NY Gurning, yang waktu itu berstatus janda.
Setidak-tidaknya, delapan tahun penugasan sebagai dokter di berbagai kota itu yang memperlihatkan realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya telah memberikan wawasan kesadaran baru kepada Soetomo. Gagasan dan cita-cita "Kebangkitan Jawa" sebagaima dulu dianjurkan Wahidin, mulai terasa memudar, sebaliknya wawasan dan kesadaran baru tentang "kebangkitan Indonesia" mulai berkobar.
Dalam suasana perubahan wawasan dan munculnya kesadaran baru itulah, Soetomo berangkat ke negeri Belanda pada tahun 1919 untuk melanjutkan studi Universitas Amsterdam. Di sana wawasan dan kesadaran baru itu semakin menemukan bentuknya, ketika Soetomo ikut aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia Belanda saat itu, Perhimpunan Indonesia (PI), di mana ia pernah menjadi salah satu ketua organisasi tersebut.
Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Indische Vereeniging, didirikan tahun 1908, beberapa saat setelah terbentuknya Budi Utomo. Sejak awal tahun 1920-an, Perhimpunan Indonesia berubah dari suatu organisasi yang bersifat sosial menjadi suatu organisasi politik yang semakin radikal.
Dalam pandangan Ingleson Perhimpunan Indonesia adalah organisasi yang pertama kali merumuskan konsepsi nasionalisme Indonesia secara jelas dan rinci, yang kemudian menjadi acuan bagi berbagai gerakan nasionalis di Indonesia sejak tahun 1920-an sampai pendudukan Jepang tahun 1942. (John Ingleson, Road to Exale: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934, Kuala Lumpur, 1979).
Soetomo, sebagaimana anggota Perhimpunan Indonesia angkatan pertama lainnya yang kembali ke tanah air tahun 1923, ternyata menemui kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada. Karena umumnya mereka menolak ideologi komunisme, maka pilihan mereka hanyalah bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan partai kedaerahan yang konservatif seperti Budi Utomo.
Dalam organisasi ini selama empat tahun Soetomo terlibat penuh. Dengan sendirinya wawasan dan kesadarannya tentang keindonesiaan menjadi semakin kental, yang kelak akan mempengaruhi sikap dan perilaku politiknya ketika ia kembali ke Tanah Air. Pada tahun 1923 Soetomo kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai dokter sekaligus dosen pada Sekolah Dokter (NIAS) di Surabaya.
Menurut Kahin, Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi yang paling penting dalam menentukan karakter pergerakan kebangsaan Indonesia pada tahun-tahun sesudah pemberontakan Komunis. Gagasan dan kebijakan-kebijakan Perhimpunan Indonesia kemudian memainkan peranan yang dominan dalam perkembangan kebangsaan di Indonesia, dan mayoritas pemimpin tertinggi kebangsaan setelah tahun 1927, adalah mereka yang telah aktif dalam organisasi ini di negeri Belanda (George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952).
Soetomo, sebagaimana anggota Perhimpunan Indonesia angkatan pertama lainnya yang kembali ke Tanah Air tahun 1923, ternyata menemui kesulitan menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada. Sejak awal Perhimpunan Indonesia telah meneguhkan keyakinan bahwa mereka harus mengembangkan suatu ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan komunisme, setelah melihat kegagalan Sarekat Islam dan PKI.
Dalam situasi kesulitan meleburkan diri ke dalam tubuh partai-partai politik yang ada, para anggota PI sepakat membentuk berbagai kelompok studi terutama di kota besar yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Kelompok-kelompok studi tersebut merupakan langkah pertama ke arah aksi politik yang terbuka, dan untuk banyak orang merupakan suatu bentuk peralihan antara PI dan tujuan terakhir mereka yaitu partai nasional yang baru.
Kelompok studi yang pertama terbentuk di Indonesia adalah Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia yang dibentuk oleh Soetomo tanggal 11 Juli 1924 di Surabaya. Soetomo mengharapkan bahwa kelompok studi tersebut dapat menyatukan kaum terpelajar Jawa, mengembangkan kesadaran mereka tentang Indonesia sebagai satu bangsa dan memberikan kepemimpinan kepada gerakan kebangsaan. Kelompok ini merupakan organisasi orang Jawa di kota-kota yang mendapatkan pendidikan Barat. Kebanyakan daripadanya adalah anggota Budi Utomo sebelumnya, tetapi sebagaimana halnya dengan Soetomo, menganggap Budi Utomo terlalu berorientasi Jawa dan kurang berorientasi Indonesia (Ingleson, ibid).
Setelah terbentuknya Kelompok Studi Indonesia, menyusul Kelompok Studi Umum yang didirikan di Bandung tanggal 29 November 1925 atas inisiatif mantan anggota PI, tokoh-tokoh nasionalis terkemuka seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sartono, serta seorang mahasiswa yang kelak menjadi tokoh utama dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, Soekarno.
PADA akhir tahun 1926 muncul harapan di kalangan para tokoh nasionalis muda dari berbagai golongan dan partai politik, ketika mereka merasakan ada jalan menuju kebijaksanaan baru dan arah baru dalam aktivitas mereka. Para mantan anggota PI telah berhasil dalam mencangkokkan benih-benih ideologi nasionalis yang baru dalam bumi politik yang telah dipersiapkan oleh propaganda yang disusupkan ke Indonesia oleh PI tiga tahun sebelumnya.
Kelompok Studi Indonesia di Surabaya dan Kelompok Studi Umum di Bandung, mencari peranan politik yang lebih luas, dan kebutuhan akan satu partai nasionalis yang baru semakin banyak diterima. Langkah-langkah pertama yang disertai keraguan telah menuju ke persatuan yang lebih luas antara berbagai kelompok. Hasilnya adalah terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung.
Ketika pemerintah kolonial Belanda memberikan reaksi keras terhadap gerakan nasionalis Indonesia dengan menangkap dan menahan para pemimpin PNI-terutama Soekarno maka partai politik itu nyaris tidak berfungsi. Dalam suasana vakum tanpa kepemimpinan politik yang jelas, Soetomo kembali tampil dengan Kelompok Studi Indonesia-nya untuk memainkan peran yang lebih berarti. Pada tanggal 11 November 1930 Kelompok Studi Indonesia diubah menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan secara resmi memutuskan akan mendirikan partai politik baru. Partai politik itu ternyata baru terbentuk lima tahun kemudian dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935.
Dalam partai baru yang sebenarnya merupakan fusi atau peleburan antara Budi Utomo dan PBI, Soetomo kembali menjadi tokoh sentral. Namun, peran sentral itu tidak berlangsung lama, karena tiga tahun kemudian,tepatnya pada taggal 30 Mei 1938,Soetomo meninggal dunia di Surabaya.
Sekalipun peran Soetomo dan Parindra tidak begitu spektakuler dibandingkan Soekarno dan PNI, namun dalam batas-bayas tertentu dia telah ikut memberika kontribusi yang sangat berharga pada saat munculnya benih-benih nasionalisme Indonesia modern. Soetomo ikut pula mendorong proses perwujudan cita-cita kebangsaan yaitu kemerdekaan, walaupun dia sendiri tidak sempat menyasikan hasilperjuangannya itu.
Manuel Kaisiepo
Kompas, 1 Januari 2000
i
er ;t an