Jumat, 06 Mei 2011

BUDI UTOMO DAN KEBANGKITAN NASIONAL



KONTROVERSI seputar penetapan tanggal kelahiran organisasi Budi Utomo (ejaan aslinya Boedi Oetomo) tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional, memang belum berakhir dan masih menjadi obyek perdebatan yang terus berlanjut. Bagi kebanyakan pengamat sejarah Indonesia modern, Budi Utomo d nilai terbatas perannya sebagai organisasi yang bersifat "kebudayaan," dan bukan bersitat "politik."
DALAM penilaian Van Niel misal­nya, Budi Utomo bersifat nasionalistis hanya da­lam pengertian yang amat ter­batas ia menjelmakan kemajuan suatu kelompok kebudayaan tertentu (Jawa) ­dan pada tahap awalnya ia tidak berpretensi untuk membangun suatu bangsa. Yang membuat Budi Utomo penting ialah bah­wa ia adalah organisasi Indo­nesia pertama yang mengikuti garis-garis Barat (Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, 1960).
Demikian pula Pramoedya Ananta Toer yang menilai bah­wa Budi Utomo sejak didirikan tahun 1908 hingga melebur dalam Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) tahun 1935 tetap merupakan suatu organisasi kesukuan (Jawa), sehingga kurang tepat bila kelahirannya diang­gap sebagai kebangkitan nasio­nal Indonesia. Bagi Pramoedya, kebangkitan nasional Indonesia sudah dimulai dua tahun sebe­lumnya melalui kelahiran orga­nisasi Sarekat Priyayi dengan tokoh utamanya, RM Tirto Adhi Scerjo (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985).
Sebagian pengamat lagi me­nilai "kegagalan" Budi Utomo untuk memegang kepemimpin­an pergerakan nasional pada awal abad ini disebabkan oleh corak organisasi itu yang "eli­tis," "aristokratis," dan "mode­rat." Akan tetapi sebagaimana dikemukakan sejarawan Dr Abdurrachman Surjomihardjo (almarhum), suatu rekonstruksi peristiwa sejarah yang dibatasi oleh pengertian-pengertian itu tidak cukup untuk menilai per­kembangan Budi Utomo pada waktu itu.
Barangkali kontroversi sepu­tar penetapan waktu kelahiran Budi Utomo sebagai titik awal kebangkitan nasional Indonesia dapat diakhiri dengan menya­dari bahwa penetapan patokan waktu itu lebih merupakan usa­ha memberi makna simbolis-po­litis semata, dan bukan terutama sebagai hasil dari rekonstruksi sejarah secara ilmiah.
Sekalipun demikian, penelu­suran kembali terhadap pemi­kiran dan peranan dari sejum­lah tokoh yang melatarbela­kangi kelahiran Budi Utomo menunjukkan bahwa kelahiran organisasi yang melambangkan "kebangkitan Jawa” itu se­sungguhnya merupakan bagi­an-bahkan salah satu bagian inti-dari proses kelahiran na­sionalisme Indonesia dalam pe­ngertian modern pada awal abad 20.
Pemahaman tentang eksisten­si Budi Utomo sebagai bagian dari proses kebangkitan nasio­nalisme Indonesia modern akan lebih lengkap lagi manakala ditelusuri pemikiran serta peran dari dua tokoh utamanya, dok­ter Wahidin Soedirohoesoedo dan terutama dokter Soetomo.
Bila Wahidin merupakan tokoh Jawa angkatan tua yang bercita-cita dan terus-menerus mempropagandakan gagasan kebangkitan Jawa, maka Soeto­mo adalah wakil angkatan muda Jawa yang mewujudkan gagasan itu dalam bentuk yang konkret berupa organisasi Budi Utomo. Dalam perkembangan kemudi­an, Soetomo menjadi salah satu tokoh penting dalam proses ke­bangkitan nasionalisme Indone­sia, terutama sejak ia bergabung dengan organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1919-1923, dan ketika ia aktif dalam politik pergerakan sejak tahun 1924 hingga saat wafatnya tahun 1938.
Oleh karena itu penting un­tuk memahami pemikiran dan peran mereka, juga hubungan antara kedua tokoh tersebut. Hubungan Wahidin dan Soetomo memang memikat mengingat adanya kesamaan, namun juga ada perbedaan pandangan tentang cara-cara mencapai tujuan akhir dan ci­ta-cita tentang kebangkitan Jawa, dan bagaimana pemikir­an dan peranan politik Soeto­mo dalam fase awal kebangkit­an nasionalisme Indonesia.
Wahidin yang dilahirkan tahun 1857 di Mlati, sebuah desa empat kilometer utara Kota Yogyakarta, adalah seorang priyayi desa seperti diperlihat­kan gelarnya, Mas Ngabehi. Ia anak bumiputera pertama yang diterima di sekolah dasar untuk anak Eropa (Europesche Lagere School = ELS). Pada tahun 1869 ia meneruskan pelajaran di Sekolah Dokter Bumiputera ("Dokter Jawa"). Karena tergo­long pandai, maka begitu lulus tahun 1872, Wahidin diangkat sebagai asisten pengajar di seko­lah itu. Beberapa tahun kemu­dian ia kembali ke Yogyakarta dan menjadi pejabat kesehatan daerah itu sampai tahun 1899.
Didorong oleh keperluannya menyampaikan cita-citanya ke­pada masyarakat luas, maka pa­da tahun 1901, ketika berusia 48 tahun, Wahidin menjadi pemim­pin redaksi Retnodhoemilah, suatu majalah berbahasa Jawa dan Melayu yang terbit tiga kali seminggu. Sejak itulah ketokoh­an Wahidin mulai tampak.
Hal lain yang membuat pri­badi Wahidin menonjol adalah sifat rendah hati serta kehalus­an budi pekertinya. Seperti di­tunjukkan Akira Nagazumi, Wahidin mampu memadukan pendidikan Barat yang diteri­manya dengan unsur-unsur ter­baik dalam kebudayaan Jawa. Selain dikenal luas sebagai dok­ter Jawa, Wahidin juga dikenal sebagai juru karawitan yang an­dal, pandai memainkan sangat banyak gending, dengan game­Ian apa saja; juga sebagai da­lang wayang kulit yang piawai (Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918, Tokyo Institute of Developing Economics, 1972).
Melalui Retnodhoemilah, Wahidin mulai melontarkan ci­ta-cita dan gagasannya tentang kebangkitan Jawa kepada ka­langan yang lebih luas. Cita-ci­tanya itu ialah bangkitnya "bangsa Jawa" dalam peradab­an yang baru. Cita-cita Wahi­din itu sebenarnya juga ikut di­pengaruhi oleh beberapa per­kembangan di luar negeri, di antaranya munculnya Pan Islamisme menyusul gerakan Turki Muda (1880-1902), refor­masi Kwang-zu di Cina menje­lang abad 20, dan kemenangan Jepang atas Rusia.
BERBAGAI perkembang­an di luar negeri itu lang­sung atau tidak langsung telah membawa dampak terhadap penduduk pri­bumi Indonesia. Bagi Wahidin, berbagai perkembangan itu merupakan inspirasi sekaligus motivasi untuk memikirkan nasib rakyat Jawa yang te­rus "tertidur" dan jauh terting­gal, dan karena itu harus diupa­yakan untuk "bangkit" menyongsong era baru yang ditandai oleh berbagai peristiwa di atas.
Salah satu pikiran pokok Wahidin adalah kemunduran Jawa sejak abad ke-19, ketika Islam mengakhiri peradaban Hindu-Buddha, sementara ma­syarakat Cina dan Arab di Hindia Belanda jauh lebih maju. Menurut Wahidin, kemajuan Jawa dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan Barat lewat pendidikan, tetapi tanpa melu­pakan warisan Jawa.
Wahidin yakin bahwa pen­didikan modern bersama de­ngan pendalaman budaya Jawa akan dapat membantu masya­rakatnya mengatasi masalah kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Wahidin selalu setia memberitakan dan mengomen­tari dengan penuh simpati munculnya upaya masyarakat dalam bentuk organisasi untuk menambah ilmu pengetahuan (pengaruh perkembangan di lu­ar negeri terhadap cita-cita Wahidin, lihat Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, buku ke-1, 1995).
Ketika seruannya dalam berkala itu kurang mendapat sambutan, pada tahun 1906 ia mengundurkan diri dari Retno­dhoemilah agar bisa memusat­kan waktunya untuk berkeli­ling dan bertemu para pemuka Jawa seperti para bupati yang kaya dan kaum priyayi kelas atas yang berpengaruh. Kepada mereka, Wahidin mengemuka­kan cita-citanya, yang menu­rutnya harus dimulai pemben­tukan organisasi yang khusus mengurus dana pendidikan.
Usaha Wahidin itu tidak memperoleh hasil, karena seba­gian besar bupati dan priyayi tinggi tidak berminat. Seringkali Wahidin juga harus menghadapi tentangan keras dari kalangan bupati, yang me­mandangnya sebagai hendak mengguncangkan ketenteram­an dan ketertiban sistem yang berlaku, sebagian lagi mere­mehkannya karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja, dan golongan lain pun karena memangnya tidak senang terhadap perubahan apa pun (Nagazumi, ibid).
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil bagaikan berseru di padang pasir, barulah pada akhir tahun 1907 Wahidin di­undang oleh dua siswa STOVIA Jakarta, Soetomo dan Soeradji, untuk mengemukakan gagasan dan cita-citanya di depan para siswa STOVIA. Mereka ternya­ta tergugah oleh semangat dok­ter pensiunan itu. Dalam memoarnya, Soetomo menulis kenangannya ketika pertama kali bertemu Wahidin:
"...Saya berhadapan dengan dokter Wahidin Soedirohoesodo yang berwajah tenang tetapi ta­jam, dan kepandaiannya meng­utarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membu­ka pikiran dan hati saya, mem­bawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit. Berbicara dengan dokter Wahidin merupakan pengalam­an yang sangat mengharukan, dengan mudah orang akan tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini." (R Soe­tomo, "Kenang-kenangan 1933", sebagaimana dikutip dalam Nagazumi, ibid).
Gagasan dan cita-cita yang sejak lama diperjuangkan Wahidin, kini menemukan titik perwujudannya ketika para siswa STOVIA sepakat untuk membentuk suatu organisasi sesuai keinginan Wahidin.Para siswa itu menghendaki agar organisasi itu tidak hanya mengurusi soal pendidikan, melainkan juga menyadarkan penduduk Jawa akan keutama­annya. Akhirnya pada hari Minggu pagi tanggal 20 Mei 1908, di aula STOVIA di Ja­karta, diumumkan berdirinya organisasi tersebut dengan na­ma Boedi Oetomo, dan Soetomo terpilih sebagai ketua.
Sekalipun bukan merupakan organisasi pribumi yang perta­ma, namun kelahiran Budi Utomo cukup menggemparkan. Tokoh pencetus Politik Etis, Mr C Th Van Deventer misalnya, memberikan komentar dalam majalah De Gidds, beberapa saat setelah pengumuman ke­lahiran Budi Utomo bahwa Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt (Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri cantik yang tidur itu, telah bangkit). Barangkali, bermula dari istilah "ontwaakt" (bangkit) yang di­sampaikan Van Deventer itulah kelak hari kelahiran Budi Utomo diresmikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sebagaimana berulang kali terjadi dalam sejarah, para pemula atau perintis dari setiap gerakan baru biasanya dengan segera tersingkirkan dari ge­rakan tersebut. Hal itu berlaku bagi Wahidin maupun Soetomo. Gagasan awal Wahidin tentang dana pendidikan yang telah di­tolak para siswa STOVIA yang ingin memperluas tujuan orga­nisasi, telah memberikan peran yang terbatas bagi dokter tua itu dalam kegiatan Budi Utomo selanjutnya.
Keterbatasan kemampuan Soetomo dan rekan-rekan seangkatannya dalam membia­yai organisasi, menyebabkan­ dalam waktu singkat-kepe­mimpinan Budi Utomo jatuh ke tangan para priyayi tua yang kolot dan antipembaruan. Soetomo, seperti juga bapak ro­haninya, Wahidin, semakin ter­batas perannya dalam kepeng­urusan Budi Utomo. Namun, bila bagi Wahidin suatu fase lama telah berakhir, bagi Soe­tomo suatu fase baru justru sedang dimulai.
KETIKA dalam kongres pertama Budi Utomo tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta ke­pemimpinan organisasi itu beralih ke tangan kaum tua, Soetomo hanya mendapat pe­ran terbatas dengan mengurus Budi Utomo cabang Jakarta se­bagai ketuanya. Peran yang terbatas itu justru membuat Soetomo dapat lebih berkon­sentrasi untuk menyelesaikan studinya.
Soetomo yang dilahirkan di Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada tangga130 Juli 1888, adalah keturunan priyayi menengah. Ayahnya, Raden Soe­wadji, adalah Wedana di Maos­pati, Madiun. Setelah menamat­kan pendidikan dasar, pada usia 15 tahun ia diterima sebagai siswa STOMA di Jakarta pa awal tahun 1903. Ia tamat d; STOVIA tahun 1911.
Selama delapan tahun berikutnya Soetomo nyaris tenggelam dalam kegiatan profesionalnya sebagai dokter. Dia mula-mula ditugaskan di Semarang, kemudian dipindahkan ke Tuban, terus ke Lubuk Pakam dan Baturaja di Sumatera, kemudian ke Malang dan Blora. Di Rumah Sakit Blora, Soetomo menemukan jodohnya, orang perawat Belanda, NY Gurning, yang waktu itu berstatus janda.
Setidak-tidaknya, delapan tahun penugasan sebagai dokter di berbagai kota itu yang memperlihatkan realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya telah memberikan wawasan kesadaran baru kepada Soetomo. Gagasan dan cita-cita "Kebangkitan Jawa" sebagaima dulu dianjurkan Wahidin, mulai terasa memudar, sebaliknya wawasan dan kesadaran baru tentang "kebangkitan Indo­nesia" mulai berkobar.
Dalam suasana perubahan wawasan dan munculnya kesadaran baru itulah, Soetomo berangkat ke negeri Belanda pada tahun 1919 untuk melanjutkan studi Universitas Amsterdam. Di sana wawasan dan kesadaran baru itu semakin menemukan bentuknya, ketika Soetomo ikut aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia Belanda saat itu, Perhimpunan Indonesia (PI), di mana ia pernah menjadi salah satu ketua organisasi tersebut.
Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Indische Vereeniging, didirikan tahun 1908, beberapa saat setelah terbentuknya Budi Utomo. Sejak awal tahun 1920-an, Perhimpunan Indonesia berubah dari suatu organisasi yang bersifat sosial menjadi suatu organisasi politik yang semakin radikal.
Dalam pandangan Ingleson Perhimpunan Indonesia adalah organisasi yang pertama kali merumuskan konsepsi nasionalisme Indonesia secara jelas dan rinci, yang kemudian menjadi acuan bagi berbagai gerakan nasionalis di Indonesia sejak tahun 1920-an sampai pendudukan Jepang tahun 1942. (John Ingleson, Road to Exale: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934, Kuala Lumpur, 1979).
Soetomo, sebagaimana anggota Perhimpunan Indone­sia angkatan pertama lainnya yang kembali ke tanah air tahun 1923, ternyata menemui kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan partai-partai poli­tik yang ada. Karena umumnya mereka menolak ideologi komunisme, maka pilihan mereka hanyalah bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan partai kedaerahan yang konservatif seperti Budi Utomo.
Dalam organisasi ini selama empat tahun Soetomo terlibat penuh. Dengan sendirinya wawasan dan kesadarannya ten­tang keindonesiaan menjadi se­makin kental, yang kelak akan mempengaruhi sikap dan perilaku politiknya ketika ia kembali ke Tanah Air. Pada tahun 1923 Soetomo kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai dokter se­kaligus dosen pada Sekolah Dokter (NIAS) di Surabaya.
Menurut Kahin, Perhimpun­an Indonesia merupakan orga­nisasi yang paling penting dalam menentukan karakter pergerakan kebangsaan Indo­nesia pada tahun-tahun sesu­dah pemberontakan Komunis. Gagasan dan kebijakan-kebi­jakan Perhimpunan Indonesia kemudian memainkan peranan yang dominan dalam perkem­bangan kebangsaan di Indo­nesia, dan mayoritas pemimpin tertinggi kebangsaan setelah tahun 1927, adalah mereka yang telah aktif dalam organi­sasi ini di negeri Belanda (George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952).
Soetomo, sebagaimana ang­gota Perhimpunan Indonesia angkatan pertama lainnya yang kembali ke Tanah Air tahun 1923, ternyata menemui kesu­litan menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada. Sejak awal Perhimpunan Indonesia telah meneguhkan keyakinan bahwa mereka harus mengembangkan suatu ideologi yang kuat dan bebas dari pem­batasan-pembatasan Islam dan komunisme, setelah melihat ke­gagalan Sarekat Islam dan PKI.
Dalam situasi kesulitan mele­burkan diri ke dalam tubuh partai-partai politik yang ada, para anggota PI sepakat mem­bentuk berbagai kelompok stu­di terutama di kota besar yaitu Jakarta, Bandung, dan Sura­baya. Kelompok-kelompok stu­di tersebut merupakan langkah pertama ke arah aksi politik yang terbuka, dan untuk banyak orang merupakan suatu bentuk peralihan antara PI dan tujuan terakhir mereka yaitu partai nasional yang baru.
Kelompok studi yang perta­ma terbentuk di Indonesia ada­lah Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia yang dibentuk oleh Soetomo tanggal 11 Juli 1924 di Sura­baya. Soetomo mengharapkan bahwa kelompok studi tersebut dapat menyatukan kaum ter­pelajar Jawa, mengembangkan kesadaran mereka tentang Indonesia sebagai satu bangsa dan memberikan kepemimpin­an kepada gerakan kebangsaan. Kelompok ini merupakan orga­nisasi orang Jawa di kota-kota yang mendapatkan pendidikan Barat. Kebanyakan dari­padanya adalah anggota Budi Utomo sebelumnya, tetapi se­bagaimana halnya dengan Soetomo, menganggap Budi Utomo terlalu berorientasi Jawa dan kurang berorientasi Indonesia (Ingleson, ibid).
Setelah terbentuknya Kelompok Studi Indonesia, menyusul Kelompok Studi Umum yang didirikan di Bandung tanggal 29 November 1925 atas inisiatif mantan anggota PI, tokoh-tokoh nasio­nalis terkemuka seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sartono, serta seorang mahasiswa yang kelak menjadi tokoh utama dalam sejarah pergerakan ke­bangsaan Indonesia, Soekarno.
PADA akhir tahun 1926 muncul harapan di ka­langan para tokoh nasionalis muda dari berbagai golongan dan partai poli­tik, ketika mereka merasakan ada jalan menuju kebijaksanaan baru dan arah baru dalam aktiv­itas mereka. Para mantan anggota PI telah berhasil dalam mencangkokkan benih-benih ideologi nasionalis yang baru dalam bumi politik yang telah dipersiapkan oleh propaganda yang disusupkan ke Indonesia oleh PI tiga tahun sebelumnya.
Kelompok Studi Indonesia di Surabaya dan Kelompok Studi Umum di Bandung, mencari peranan politik yang lebih luas, dan kebutuhan akan satu par­tai nasionalis yang baru sema­kin banyak diterima. Langkah­-langkah pertama yang disertai keraguan telah menuju ke per­satuan yang lebih luas antara berbagai kelompok. Hasilnya adalah terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung.
Ketika pemerintah kolonial Belanda memberikan reaksi keras terhadap gerakan nasio­nalis Indonesia dengan menang­kap dan menahan para pemim­pin PNI-terutama Soekarno­ maka partai politik itu nyaris tidak berfungsi. Dalam suasana vakum tanpa kepemimpinan politik yang jelas, Soetomo kem­bali tampil dengan Kelompok Studi Indonesia-nya untuk me­mainkan peran yang lebih ber­arti. Pada tanggal 11 November 1930 Kelompok Studi Indonesia diubah menjadi Persatuan Bang­sa Indonesia (PBI) dan secara resmi memutuskan akan mendi­rikan partai politik baru. Partai politik itu ternyata baru terben­tuk lima tahun kemudian dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935.
Dalam partai baru yang sebe­narnya merupakan fusi atau peleburan antara Budi Utomo dan PBI, Soetomo kembali menjadi tokoh sentral. Namun, peran sentral itu tidak berlangsung lama, karena tiga tahun kemudian,tepatnya pada taggal 30 Mei 1938,Soetomo meninggal dunia di Surabaya.
Sekalipun peran Soetomo dan Parindra tidak begitu spektakuler dibandingkan Soekarno dan PNI, namun dalam batas-bayas tertentu dia telah ikut memberika kontribusi yang sangat berharga pada saat munculnya benih-benih nasionalisme Indonesia modern. Soetomo ikut pula mendorong proses perwujudan cita-cita kebangsaan yaitu kemerdekaan, walaupun dia sendiri tidak sempat menyasikan hasilperjuangannya itu.

Manuel Kaisiepo
Kompas, 1 Januari 2000
i
er ;t an